Kayumas Kaja, 31 Desember 2008;
ALAMIAH
Rasa bangga semakin tebal dilahirkan sebagai orang Bali ketika Rebo 10 Desember 2008, Presiden SBY menetapkan Bali sebagai Pulau Perdamaian dan Demokrasi, sesaat setelah meresmikan Institute for Peace and Democracy bertempat di Auditorium Widya Saba Unud, Kampus Bukit, Jimbaran.
Predikat Pulau Perdamaian dan Demokrasi terdengar gagah, membanggakan, dan sekaligus melengkapi berbagai macam sebutan lain sebelumnya bagi Bali, seperti: Pulau Dewata (Island of the God), Pulau Kahyangan (Island of the paradise), Pulau seribu pura (Island of thousand temples), ….. belum lagi predikat lain yang sudah dikenal di manca Negara, seperti: The best tourism destination, …. Kini "The Island of Peace and Democracy".
Tentu sebutan, gelar, atau apalah lagi nama yang diberikan untuk Bali itu bukanlah gelar kosong yang diraih Bali. Terlalu "panjang" alasan untuk dipaparkan dan kebetulan juga alasan-alasan yang dianggap memadai untuk memberikan gelar kepada Bali itu bukanlah sesuatu yang direncanakan seperti mengukir prestasi olah raga, misalnya. Semuanya apa adanya, ……. "alamiah!" demikian kata orang. Kharakter orang Bali (polos, ramah-tamah, toleran, tenggangrasa), sosial-budaya (prikehidupan "krama" Bali yang terikat kental dalam sosiokultural Bali melahirkan budaya yang dijiwai oleh agama Hindu), dan spirit Bali adalah modal dasar untuk itu.
DIANGKAT UNTUK DIPUKUL
T.A.P.I; …… rasa bangga itu tampaknya tidak harus membuat kita, orang Bali "l.e.n.g.a.h" (baca: belog ajum!) karena sadar atau tidak disadari, mau atau tidak mau diakui, ….. modal dasar di atas (baca: kharakter, sosial-budaya, dan spirit Bali) semakin mengkhawatirkan akibat pengaruh dan tekanan, baik dari dalam maupun dari luar.
Yang sangat perlu diwaspadai sebenarnya adalah tekanan berupa upaya sistimatis yang sengaja ingin meng"kerdil"kan Bali, untuk kemudian menggantikannya dengan tatanan-budaya yang sama sekali "lain", ……. dengan budaya Nusantara sekali pun. Pujian sering membuat "Bali" terlena, …….. akibatnya, dua kali dentuman bom menyerang Bali yang menelan banyak korban manusia, materi dan mental orang bali. Belum lagi hujatan sampai pelecehan symbol keagamaan. Bali harus tetap waspada dengan politik "volley ball" di Negara ini, …….. diangkat untuk dipukul!
Beberapa "tekanan" yang jelas-jelas perlu diwaspadai oleh Bali, dan atau oleh siapa saja yang ingin Bali tetap Ajeg, antara lain:
- TERORISME, yang berkedok agama tertentu dan egoistiskebenaran dengan pemahaman yang arogan tentang "kafir", "haram", "jihad", ……. sampai pada hujatan terhadap Hindu sebagai agama bumi, adalah gerakan yang benar-benar harus diwaspadai bahkan diperangi oleh Hukum per-UU di negara ini kalau memang benar-benar melindungi rakyatnya. Negara ini bukan Negara Agama! Tapi Negara Berketuhanan yang dibentengi oleh Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, jangan sampai terjadi mayoritas menekan minoritas;
- TOURISME, seakan-akan menjadi buah simalakama bagi Bali. Tidak ditangani, pariwisata sudah kadung menjadi sebuah ketergantungan bagi bali, …….. ditangani juga semakin menjadi "eksploitasi-kapitalisme" bagi alam, budaya dan Hindu. Pemahaman fanatik tentang "tourism" yang seharusnya dipegang, yaitu: "pariwisata untuk Bali, bukan Bali untuk pariwisata" sudah tidak diacuhkan lagi. "……. peduli amat!" barangkali seperti itu. Pengikisan sosio-budaya, eksploitasi sampai alih fungsi lahan terus terjadi bahkan semakin hebat, sampai kepada penghujatan terhadap Agama Hindu akan terus terjadi.
- LOW INFORCEMENT, yang kontra produktif dipaksakan pemberlakuannya di Negara ini, ….. serasa semakin menghimpit bali, ……suatu saat akan menyudutkan Bali. Pemberlakuan kebenaran agama mayoritas yang lebih pantas dipakai mengatur umat nya di paksakan diberlakukan ke dalam hukum Nasional, ……. yang walaupun "belum" diberlakukan di Bali tentu akan menjadi sebuah hukum yang kontra produktif bagi Bali yang mayoritas beragama Hindu. Pandangan "kebenaran" yang dilihat dengan kacamata sebuah agama tertentu seharusnya tidak dipaksakan sebagai produk hukum nasional.
Katakanlah, UU Pornografi yang jelas-jelas ditolak atas nama beberapa provinsi/daerah sudah tidak diambil peduli oleh DPR dan Presiden kemudian dengan gagah menandatangani pemberlakuannya.
Yang lebih menyakitkan adalah, seorang putra Bali yang kebetulan menjadi salah seorang pembantu presiden, ….. di bidang pariwisata lagi, dengan enteng mengatakan:
"……… tidak usah khawatir, tidak ada gangguan bagi kita, karena tidak akan ada yang ditangkap. Kecuali nanti ada yang menari, melukis ditangkapi barulah menjadi soal"
(DenPost, 9 November 2008).
Dapatkah dipertanggungjawabkan kata-kata ini bagi Bali? Jangan bercanda Bapak Menteri! Ini masalah serius, …… masalah hukum yang mengatur Negara ini.
Sudah terlalu banyak alasan yang dikemukan oleh masyarakat, pakar hukum dan lain-lain untuk menolak sejak wacana menjadi RUU Anti Pornografi Pornoaksi (RUU APP), …. dengan alasan moral, tetap saja dipaksakan menjadi RUU Pornografi untuk di"voting" di DPR yang diwarnai walk out-nya fraksi PDIP, PDS, dan anggota DPR wakil Bali. Melakukan "voting" sah-sah saja, tapi kalau wacananya saja sudah ditolak, bahkan oleh dan atas nama Daerah, apakah RUU masih perlu dilanjutkan. Ada apa ini?
Pertama, Wacananya saja sudah ditolak, apakah Penetapan RUU-nya sah? Kedua,…… bukankah "pengecualian" dengan alasan tradisi, adat, sosial, seni-budaya, agama di suatu daerah terhadap sesuatu yang diklasifikasikan porno oleh UU Pornografi justeru adalah sebuah pengakuan yang sangat menyakitkan. Bali tinggal menunggu sebuah gelar "Pulau Seribu Porno". Ketiga, UU ini memberikan "keleluasaan" bahkan mengundang partisipasi masyarakat untuk ikut mengawasi UU ini,…… apakah bukan sebuah "ancaman" arogansi dan anarkisme di Negara ini. Keempat, UU ini jelas-jelas akan membatasi ruang gerak tradisi, seni budaya, dan agama yang notabene adalah pilar NKRI. Kacamata "kebhinekaan" mulai tergores di Negara ini, ……… jangan sampai dia terancam "retak". Kini, Yudicial Review segala sedang disusun. Sebuah pekerjaan yang sia-sia, yang justru akan semakin memojokkan Bali. Karena, ketika nanti Yudicial Review ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, apakah Bali akan menerima UU Pornografi?
- KRIMINALITAS, di Bali semakin merajalela! Istilahnya, Bali bukan saja sudah menjadi "gula" bagi "semut-semut" pekerja, tapi sekaligus juga menjadi "madu". Penduduk pendatang seakan-akan tak terbendung masuk ke Bali. Kebanyakan dari mereka tidak berbekalkan keterampilan yang cukup. Pekerjaan kasar, seperti tukang gali, buruh bangunan, sampai buruh panen di sawah, .... yang sudah ditinggalkan oleh orang Bali akhirnya menjadi madu bagi mereka. Pada kenyataannya, pekerjaan kasar adalah borongan pekerjaan musiman. Ketika borongan selesai, para buruh akan kehilangan pekerjaan, sedangkan mereka butuh penghidupan. Keterdesakan ini adalah sumber kriminalitas seperti pencurian, perampokan, pembunuhan saling bersahutan terjadi. Tanpa bermaksud menyombongkan diri atau menyudutkan siapa-siapa, …………. Hampir semua kriminalitas itu dilakukan oleh orang non Bali, dengan berbagai motif. Orang Bali perlu bangga dengan keramah-tamahannya, tapi jangan sampai berlebihan percaya kepada orang yang belum jelas identitasnya.SARANG POLITIK; Bali adalah target politik. Orang Bali sekarang sudah begitu gampangnya menerima janji-janji politik yang menyesatkan, uang misalnya, kedudukan misalnya… Cobalah lihat atribut partai politik baik di desa maupun di kota. Bendera merahputih pada saat tujuhbelasan saja tidak semeriah atribut partai politik.
Kesepakatan politik tinggal kesepakatan, ……. memikat konstituen dengan alasan mohon doa restu, janji murahan, bahkan dengan segala kepongahan menyatakan diri paling "baik" jauh lebih penting daripada memberikan contoh sebagai orang yang pantas "dipilih". Tidak cukup dengan minta ijin di depan rumah pemasangannya, tapi tanaman pelindung yang harus dipelihara sudah tidak lagi menjadi pertimbangan. Pemerintah daerah akhirnya yang diuji, …… beranikah menegakkan aturan tanpa pandang bulu.
OTONOMI KHUSUS
Masih banyak lagi yang krusial untuk diwaspadai, tapi lima hal di atas rasanya sudah cukup sebagai masukan/kritik/saran atau apalah namanya, …………………………..Kalau pemerintah betul-betul ikhlas, jujur dan bertanggungjawab terhadap Bali, seharusnya Bali diselamatkan! Pemberian gelar, sebutan atau apalah namanya terhadap Bali seharusnya merupakan jaminan kepada komitmen kebangsaan dan nasionalisme bali terhadap NKRI. Seharusnya Pemerintah pusat sudah saatnya memberikan otonomi khusus bagi Bali. Aceh saja, yang memiliki kekhasan sebagai "pintu" mekah dengan segala pemberontakannya dengan mudah mendapat Otonomi Khusus, dengan nama Daerah Istimewa Aceh Darusalam.
Mengakhiri renungan ini, hanya ada sebuah pengharapan, …….. Bali mendambakan Otonomi Khusus dalam NKRI.
Kepada krama Bali, hentikanlah pertikaian! Hentikan gontok-gontokan sesama krama. Cukup banyak tantangan dan ancaman terhadap Bali yang harus dihadapi bersama-sama. Sadarlah bahwa perkembangan politik dengan banyak partai sekarang ini hanya akan memperlemah posisi orang Bali di rumahnya sendiri.
Ingat! Bali hanya bisa diselamatkan oleh Krama Bali, ….BUKAN OLEH SIAPA-SIAPA! ………… bersatulah melawan "adharma"
I D.M. Merthakota.
Jl. Melati no. 1 Denpasar.